HUKUM PERHITUNGAN HARI BAIK
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya mau bertanya bagaimana hukum atau pandangan
Islam mengenai perhitungan tanggal menurut adat jawa? Misalnya, untuk menikah
dihitung hari yang baik pelaksanaannya dari jumlah weton antara si laki-laki
dan perempuannya. Jika dalam hitungan bertemunya adalah pati, maka salah satu
di antara mereka akan mati setelah menikah, atau rezekinya yang mati. Apakah di
dalam Islam ada yang demikian? Sesepuh dan keluarga saya banyak yang
mempercayai hal tersebut. Saya bersiteguh dengan pendirian, bahwa yang memberi
hidup, mati, rezeki, jodoh adalah Allah SWT, dan bukan bergantung pada hitungan
tanggalan. Bagaimana saya menyikapi hal ini? Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.
Wb.
Pengirim: Ibu Farah,Gresik
Jawaban:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Ukhti Farah yang saya hormati. Pertimbangan memilih pasangan
hidup dalam islam itu sesuai haditS Nabi SAW yang artinya, "Seorang wanita biasanya dinikahi karena empat hal, yaitu karena
hartanya, karena nasabnya (keturunannya), karena kecantikannya dan karena
agamanya. Maka utamakan memilih istri (wanita) karena agamanya. Kamu akan
merugi (bila tidak memilih karena agamanya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang sering mempercayai ramalan bintang sebagai
sesuatu yang benar, maka ia termasuk orang yang kufur.
Dalam sebuah hadis Nabi dijelaskan, "Barang siapa mendatangi ahli nujum, kemudian ia mempercayai
terhadap apa-apa yang diucapkan, maka ia telah kafir terhadap apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW." (HR. Al Bazzar)
Persoalan nasib, jodoh, rezeki, mati, dan hari baik itu
hanyalah Allah SWT. Manusia diberikan kesempatan oleh Allah untuk merencanakan
dan berusaha semaksimal mungkin. Artinya, kita bisa merancang masa depan,
nasib, jodoh, rezeki, kecuali mati dengan kemampuan yang baik pula. Kalau sudah
berusaha dengan maksimal, baru tawakal kepada Allah agar tidak menjadi hamba
yang sombong.
Jadi seharusnya pernikahan tidak didasarkan berdasarkan
weton atau perhitungan primbon, tapi berdasarkan pertimbangan rasional dan
landasan Islam.
Namun bagaimana kalau itu dipercaya? Bisa saja pesimisnya
dan kekhawatirannya itu terjadi karena Allah menurut praduga seorang hamba-Nya.
Hal ini berdasarkan hadits Qudsi: Artinya: “Aku
menuruti prasangka hamba terhadapKu, jika la berprasangka baik terhadapKu, maka
baginya kebaikan, makajangan berprasangka terhadap Allah kecuali kebaikan"
( Bukhori )
Ukhti Farah. Solusi permasalahaan Anda adalah mencari orang
yang disungkani orang tua Anda untuk menjelaskannya. Akan tetapi, kalau beliau
belum bisa menerima, maka Anda mempertimbangkan lagi atas ridha orang tua.
Karena menikah bukan hanya perpaduan dua manusia, tapi dua keluarga. Ridha
Allah karena ridha orang tua, murka Allah juga karena murka orang tua.
Wallahu a'lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar