Blogger news

--- Ya Allah jadikanlah cintamu tercurah padaku --- Jadikanlah kecintaan orang-orang yang mencintaimu adalah cintaku --- Jadikanlah segala tindakan dan amalku selalu mengantar kepada mencintaimu --- jadikanlah cintaku padamu melebihi segala hal dari diriku dan keluargaku ---

Sabtu, 04 April 2015

Hukum Perhitungan Hari Baik



HUKUM PERHITUNGAN HARI BAIK

Assalamu'alaikum Wr. Wb. 

Ustadz, saya mau bertanya bagaimana hukum atau pandangan Islam mengenai perhitungan tanggal menurut adat jawa? Misalnya, untuk menikah dihitung hari yang baik pelaksanaannya dari jumlah weton antara si laki-laki dan perempuannya. Jika dalam hitungan bertemunya adalah pati, maka salah satu di antara mereka akan mati setelah menikah, atau rezekinya yang mati. Apakah di dalam Islam ada yang demikian? Sesepuh dan keluarga saya banyak yang mempercayai hal tersebut. Saya bersiteguh dengan pendirian, bahwa yang memberi hidup, mati, rezeki, jodoh adalah Allah SWT, dan bukan bergantung pada hitungan tanggalan. Bagaimana saya menyikapi hal ini? Terima kasih. 

Wassalamualaikum Wr. Wb. 

Pengirim: Ibu Farah,Gresik


Jawaban:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Ukhti Farah yang saya hormati. Pertimbangan memilih pasangan hidup dalam islam itu sesuai haditS Nabi SAW yang artinya, "Seorang wanita biasanya dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena nasabnya (keturunannya), karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka utamakan memilih istri (wanita) karena agamanya. Kamu akan merugi (bila tidak memilih karena agamanya).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang yang sering mempercayai ramalan bintang sebagai sesuatu yang benar, maka ia termasuk orang yang kufur.

Dalam sebuah hadis Nabi dijelaskan, "Barang siapa mendatangi ahli nujum, kemudian ia mempercayai terhadap apa-apa yang diucapkan, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW." (HR. Al Bazzar)

Persoalan nasib, jodoh, rezeki, mati, dan hari baik itu hanyalah Allah SWT. Manusia diberikan kesempatan oleh Allah untuk merencanakan dan berusaha semaksimal mungkin. Artinya, kita bisa merancang masa depan, nasib, jodoh, rezeki, kecuali mati dengan kemampuan yang baik pula. Kalau sudah berusaha dengan maksimal, baru tawakal kepada Allah agar tidak menjadi hamba yang sombong.

Jadi seharusnya pernikahan tidak didasarkan berdasarkan weton atau perhitungan primbon, tapi berdasarkan pertimbangan rasional dan landasan Islam.

Namun bagaimana kalau itu dipercaya? Bisa saja pesimisnya dan kekhawatirannya itu terjadi karena Allah menurut praduga seorang hamba-Nya. Hal ini berdasarkan hadits Qudsi: Artinya: “Aku menuruti prasangka hamba terhadapKu, jika la berprasangka baik terhadapKu, maka baginya kebaikan, makajangan berprasangka terhadap Allah kecuali kebaikan" ( Bukhori )

Ukhti Farah. Solusi permasalahaan Anda adalah mencari orang yang disungkani orang tua Anda untuk menjelaskannya. Akan tetapi, kalau beliau belum bisa menerima, maka Anda mempertimbangkan lagi atas ridha orang tua. Karena menikah bukan hanya perpaduan dua manusia, tapi dua keluarga. Ridha Allah karena ridha orang tua, murka Allah juga karena murka orang tua.

Wallahu a'lam bisshawab.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar